Berdoa dalam bahasa kita sendiri

Berdoa dalam bahasa kita sendiri
Share

Waktu masih bocah polos di kampung, pelosok NTT, saya sering dengar Pater Geurtz dan Pater Van der Leur berdoa dalam bahasa Latin. Doa apa saja. Pater Noster, Aver Maria, Credo, Rosario, Vesper dsb pakai Latin. Kalau misa sih pakai bahasa Indonesia. Khotbah campuran bahasa Indonesia + Lamaholot (bahasa daerah Flores Timur).

Pater-pater asal Belanda itu memang bisa berbahasa Lamaholot dengan baik. Bahasa Indonesianya jauh lebih lancar ketimbang orang-orang kampung. Makanya saya heran pater-pater pribumi, asli Lamaholot, justru tidak pernah khotbah pakai bahasa daerah. Kalau diajak ngobrol pun lebih suka pakai bahasa Indonesia yang resmi. Macam di buku atau seminar.

Saat mahasiswa saya jadi ingat masa kecil itu. Alangkah enaknya kalau berdoa pakai bahasa Latin. Lagu gregorian Latin. Pakai slogan-slogan Latin. Pro ecclesia et patria! Ora et labora! Et unam unum sint!

Lumayan... saya akhirnya bisa hafal banyak lagu liturgi berbahasa Latin. Sesekali bisa dipamerkan meski kualitas suara kurang bagus. Doa rosario pakai Latin itu sepertinya lebih mantap. Mirip pater-pater Eropa di Flores dulu. Sekarang semuanya sudah... resquescat in pace! Requiem aeternam...

Benarkah bahasa Latin lebih joss? Lebih manjur doanya? Tuhan lebih suka bahasa Latin atau Arab atau Inggris dan bukan Lamaholot?

Saya merenung di Pamekasan Madura setelah wawancara panjang dengan Ibu Hasaniah Waluyo (RIP). Ibu ini sedang menyelesaikan terjemahan Alkitab dalam bahasa Madura. Ouw... Alkitab berbahasa Madura. "Karena Tuhan berbicara dalam semua bahasa manusia. Bahasa apa saja Tuhan suka," ujar ibu yang murah senyum itu.

Bukankah Alkitab yang dipakai di Indonesia juga pakai bahasa Indonesia? Mengapa berdoa harus pakai Latin? Bahasa yang sangat asing dan sulit. Bukan bahasa kita sehari-hari. Mengapa umat Katolik di kampung-kampung yang buta huruf juga harus menghafal Pater Noster, Aver Maria, Aver Verum Corpus, et cetera?

Sejak itulah saya tidak lagi gandrung doa-doa Latin. Pakai bahasa Indonesia saja. Tidak pakai bahasa Lamaholot karena memang belum ada. Beda dengan gereja-gereja katolik di Jawa yang sejak dulu punya doa dan nyanyian berbahasa Jawa sebelum bahasa Indonesia.

Sejak itu saya jadi geli mendengar pendeta-pendeta aliran karismatik yang doyan kutipan Alkitab pakai bahasa Inggris. Seakan-akan Yesus dulu bicara pakai bahasa Inggris. Seakan-akan Bibel yang asli berbahasa Inggris. Seakan-akan jemaat di Surabaya sangat paham English.

Kini, di grup-grup media sosial yang ramai adalah doa-doa berbahasa Arab. Selamat ulang tahun pakai Arab. Happy milad. Fi amanillah. Barakallah fi umrik...

Rupanya teman-teman grup yang 98 persen muslim ini menganggap doa dalam bahasa Arab itu yang afdal. Lebih manjur. Tuhan lebih senang bahasa Arab. Kalau pakai bahasa Indonesia atau Jawa dianggap kurang islami. Benarkah demikian?

Syukurlah, satu jam lalu saya baca artikel Qaris Tajudin di Tempo. Qaris ini selain muslim tulen juga fasih bahasa Arab. Dia menulis, "... saya pribadi lebih senang berdoa dengan bahasa yang saya pahami. Bahasa Indonesia adalah bahasa ibu, maka itulah yang paling saya hayati."

Plong rasanya membaca tulisan Mas Qaris. Sudah lama saya ingin mengkritik kelatahan teman-teman yang terlalu gandrung bahasa Arab tapi tidak berani. Terlalu sensitif karena terkait agama lain. Maka kritikan tajam Mas Qaris ini boleh dikata mewakili unek-unek yang terpendam sangat lama.

Source:hurek[blogspot.com], 16 Maret 2018

1 Response to "Berdoa dalam bahasa kita sendiri"

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel